Ada apa aja ya di blog saya?

Kamis, 15 Juli 2010

Bukan Puteri Itik


Suasana gaduh terasa sangat memekikkan telinga. Sekelompok anak kecil yang berpostur variatif, dari yang ceking, hingga yang tambun. Dari yang tinggi sampai yang pendek. Mereka tengah asyik bermain bola di dalam kelas sambil bercanda riang, tak perduli mereka akan mengganggu kegiatan belajar di kelas sebelah yang sedang berlangsung.
Sementara itu, di satu pojok ruangan seorang anak perempuan tengah duduk di bangkunya. Termenung sendiri, namun tangannya tak diam untuk terus mengutak-atik pulpen dikotak pensil kesayangannya. Tak ada yang serius dipikirannya, hanya tebersit sekelumit keruwetan yang harus dihadapinya akhir-akhir ini. Hampir satu tahun dia berada di kelas 6 SD Gemilang 6-7, tapi serasa tak ada yang menarik hatinya untuk terlibat di dalam kelas ini. Meski murid lama, dia merasa bagaikan murid baru saja setiap hari. Sulit beradaptasi dengan teman sekelasnya. Lalu lamunannya buyar seketika itu juga saat...
“Awh!” Sebundar bola sepak terlempar cukup keras mengenai kepala Sanny. Hampir terjungkit ia dari tempat duduknya saat kagetnya tidak dapat ditahan.
“Bego lu! Kenapa lu disitu, rasain tuh bola gue!” Dengan cibiran bibir dan kata-kata kasarnya yang menyebalkan, Randy, si tambun itu merampas bola yang tadi sempat dipegang oleh Sanny.
“Aduh sakit...” Sanny meringis, tapak tangannya mengusap-usap kepalanya yang tersundul bola.
“Emang enak!” Si ceking Marco menimpalinya juga. Sebelum pergi dua bocah lelaki itu sempat menjitak kepala Sanny. Tak berperasaan sikap mereka berlalu dengan tawanya yang lebar dan nyaring.

Sanny hanya menunduk lemas dan terduduk kembali dibangkunya. Mendengarkan alunan mengerikan dari hatinya yang tersakiti. Seorang gadis sebelas tahun, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi, riak air dari matanya berusaha untuk ditahannya sekuat mungkin.
***

“Anak-anak, tugas itu dikumpulkan minggu depan ya. Jangan lupa praktikumnya diselesaikan dengan baik, ingat harus dikerjakan berkelompok.” Suara guru mata pelajaran IPA, Ibu Arum pelajaran di Sabtu siang ini.
Masih panjang rasanya hari ini bagi Sanny. Tak ada bedanya setiap hari, semua terasa sama saja. Hanya akhir pekanlah Sanny merasa merdeka seratus persen.

“Woi, bengong. Kayak itik kamu!” Sebuah suara yang tak asing ditelinga Sanny tiba-tiba mengejutkannya.
“Ih, siapa yang bengong. Oh, siapa yang kayak itik?” sahut Sanny sambil mendelikkan mata ke samping kanannya.
“Itik yang suka bengong tuh... ya kamu!” Meledak tawa kecilnya yang iseng.
“Ichal, reseh banget. Sanny bukan itik!” Lagi-lagi gadis itu mencibir sambil melipat kedua tangannya ke atas meja.

Ichal adalah teman sebangku Sanny. Sebelumnya mereka tak pernah sekelas. Hanya di kelas 6 yang satu-satunya inilah mereka baru sekelas. Duduk dekat dengan Ichal tak terlupakan baginya.

Meski hari-hari di sekolah sedang menyebalkan bagi Sanny, juga para penghuninya yang sebagian besar kontra dengan keberadaan Sanny, Ichal termasuk pengecualian dari semua yang mengusik ketentraman hati Sanny di kelas. Setidaknya, Ichal bukan bagian dari monster-monster kelas yang menakutkan itu.

Sanny merasa Tuhan tengah menyayanginya. Kegersangan hidupnya seperti ada air hujan yang membasahi. Sanny jadi merasa lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya. Ada yang berbeda dalam diri Sanny. Walau tak begitu mengerti, tapi Sanny bersyukur Tuhan mencurahkan kasih sayangnya. Yang mungkin Ichal ialah salah satu anugerahNya saat ini...
***

“Waduh, bau apaan nih? Nggak enak banget!” Tanisha, gadis berambut panjang tiba-tiba saja nyeletuk di tengah heningnya suasana belajar.
“Eh, iya nih, asem banget. Kayak terasi campur apaan gitu.” Si Marco ceking ikut menimpali sambil mengendus-enduskan hidungnya ke arah Sanny.

Sanny yang duduk di depan Marco, merasa sedikit terusik dengan tingkah teman-temannya. Dia merasa takut jika harus menjadi sasaran empuk keusilan teman-temannya. Sanny telah hafal situasi ini. Menjadi bulan-bulanan dan tak banyak yang dapat diperbuat oleh Sanny.

“Sanny, lu mandi nggak hari ini?” tanya Tanisha dengan suaranya yang lembut nan manis, namun terasa menyemai duri di setiap kalimatnya.
“Eh, man...mandi, kok.” jawab Sanny agak tergagap.
“Kok, bau acem cih?”
“Hooh, baunya...huweeekh!” Marco semakin menjadi-jadi ‘lebay’nya.
“Ichal, kamu nyium, nggak?”
“Nggak, Tanisha. Aku biasa aja. Idung kamu kali yang nempel sesuatu!” Jawab Ichal santai di samping Sanny. Ichal sibuk dengan keasyikannya mengerjakan soal Matematika. Otaknya pasti sudah dipenuhi oleh hitungan beraneka angka. Seolah di sampingnya tak terjadi apa-apa.

Tanisha mencoba mendekat ke badan Sanny. Hidungnya coba diendus-enduskan. Sanny merasa risih karena ulah Tanisha tersebut. Tak lama Tanisha mulai berbisik-bisik ke telinga Marco. Entah apa yang dibicarakannya, namun membuat Sanny penasaran.

“Busyeet deh! Ternyata si Sanny ya.” Suara Marco membuat seluruh penghuni kelas memandang ke arahnya.
“Hekh, jangan dekat-dekat kita dong. Bau nih. Lu mandinya beres, nggak sih?” Ucap Marco setengah berteriak.

Sanny hanya diam menanggapinya. Tak sepatah kata pun yang mampu diucapkannya untuk sekedar membela diri.

Marco mendekat ke arah Sanny, jari-jarinya dipakai untuk menutup hidungnya yang pesek. “Pergi lu, bau tau nggak, sih!” Ucap Marko sembari dengan kasar mendorong Sanny ke samping. Hal itu membuat tubuhnya hampir terjungkal bersama bangku yang didudukinya.

“Hey, ada apa ini ribut-ribut?” Ternyata kegaduhan yang terjadi telah menarik perhatian Ibu Arum yang sedang memeriksa tugas siswa di mejanya.
“Marko, kenapa kamu teriak-teriak?”
“I...ini Bu, Sanny.” kata Marko sambil menunjuk Sanny.
“Kenapa sama Sanny?” tanya Bu Arum sedikit bernada tinggi.
“Sanny, bau....” jawab Marko sok polos. Padahal jelas mimik wajahnya mengguratkan kemunafikan bocah yang menyebalkan.

Mendengarkan ucapan Marko barusan sontak teman-teman sekelasnya gaduh dan ikut-ikutan memperolok Sanny. Tak ayal, kejadian tersebut menjadi patokan teman-temannya untuk menjuluki Sanny si bau dan Sanny si jorok.

***

“Sanny, aku bawa kue kering. Kamu mau?” Ichal menyodorkan wadah kecil tempat bekalnya.
“Makasih, Ichal.” Satu kue kering berbentuk hati dicomot Sanny sebelum sampai di mulutnya.
“Enak ya...” Ucap Sanny lagi sembari mengunyah kuenya.
“Itu hati Ichal....”
Sanny sedikit heran dan tidak mengerti apa yang baru saja terucap dari bibir Ichal. Tapi dalam perasannya anak laki-laki itu punya maksud dalam dari kata-katanya.

Sebentar lagi siswa-siswi kelas 6A akan mengikuti ujian akhir sekolah. Harap-harap cemas reaksi mereka yang menantikannya. Tak terkecuali Sanny yang merasa tak sepintar Ichal yang jago matematikanya.
“Khawatir ya? Nyantai ajah wajahmu...” Ichal melihat air muka Sanny yang lebih tegang dari biasanya.
“Nyantai gimana, kamu mah enak pinter!” Sahut Sanny.
“Harus rajin belajar, jadi nggak khawatir sama ujian nanti.” Kata Ichal menasihati Sanny yang manyun di sebelahnya. Dipandanginya sebentar wajah Sanny yang serius itu.
“Sanny, sebentar lagi kan ujian akhir sekolah, kita sama teman-teman bakalan nggak ketemu lagi kan...”
“Iya, emang kenapa, Chal?” Agak penasaran Sanny terhadap tingkah Ichal akhir-akhir ini.
“Ehm, a...aku boleh minta foto kamu, ya!” kata Ichal agak gugup.
“Buat apaan?” tanya Sanny. Belum pernah ada anak lelaki yang meminta fotonya.
“Buat kenang-kenangan lah.” Senyum Ichal langsung mengembang dari bibir mungilnya.

***

Hari Senin pagi. Selalu ditakuti Sanny sesudah mengikuti upacara bendera yang khidmat. Pelajaran matematika harus dilalui Sanny hari ini. Sepanjang pelajaran Sanny menaruh rasa takut jika dirinya menjadi sasaran empuk gurunya untuk mengerjakan soal. Apalagi jika soal itu sukar diselesaikannya. Hingga yang akan diperolehnya adalah paranoid dengan pelajaran tersebut. Andai saja Sanny punya kemampuan briliant seperti Ichal yang pintar matematika, tak akannada rasa takut diwajahnya.
“Sanny, kamu kerjakan soal no. 1 di depan!” Suara Pak Tunis yang garang mengagetkan Sanny. Apa yang dipikirkannya ternyata akan dihadapinya.
“I...iya, Pak.” Sanny melangkah gontay menuju papan tulis yang nampak bagai lorong gelap menakutkan di depannya.

Sudah tujuh menit Sanny berdiri menatapi soal yang harus dikerjakannya. tapi satu soal itu tak dapat di selesaikan olehnya. Panas dingin tubuhnya hingga bercucuran keringat di dahi begitu saja.
“Sanny, udah selesai apa belum?” Pak Tunis semakin membuat Sanny tak dapat menyelesaikan tugasnya.
“Bego dipiara!” Celetuk Hanson, cowok pintar bermata sipit yang menyebalkan. Teman-temannya yang lain ikut mencemooh Sanny dengan ucapan yang menyakitkan hatinya. Tentu saja tanpa Ichal.
“Masak ini saja kamu tidak bisa jawab. Belajar apa saja kamu selama ini? Apa yang saya ajarkan tidak kamu gubris sama sekali?” Rentetan kalimat PakTunis terus memojokkan Sanny. Dia merasa bodoh harus berada di kelas seperti ini.
“Coba kamu kerjakan, Tanisha!” Gadis itu melangkah pasti dengan congkaknya karena merasa mampu mengalahkan Sanny mengerjakan soal.
“Bagus, kamu anak pintar, Tanisha.” Puji Pak Tunis pada Tanisha.

Ichal memandang ke arah Sanny, ada iba di hatinya untuk menolong Sanny saat itu. tapi, dia malu untuk memulainya, malu karena tak ada keberanian membela Sanny. Gadis di sampingnya tampak lesu tertunduk menghadapkan wajahnya ke buku tulisnya yang tipis.

Sanny tahu dirinya bukan anak yang bodoh, bukan anak idiot seperti yang sering disebut oleh ‘monster-monster kelas’. Dia pintar menggambar, menulis puisi yang menyentuh hati. Suaranya kala bernyanyi di kamar mandi tak kalah bagus seperti artis cilik seusianya. Sanny juga gadis cilik berwajah manis. Dia sehat secara lahiriah, meski kadang bathinnya merasa terkungkung berada di lingkungan belajarnya. Andai dapat berontak mungkin akan dia lakukan untuk memusnahkan kekalutannya. Sanny takut jika suatu saat ini akan menjadi momok yang menghambatnya berhadapan dengan lingkungan baru yang dilewatiya.

Ada hal yang tidak dimengerti, mengapa orang lain begitu bersikap diskriminatif terhadapnya. Dirinya tahu bahwa ia bukan anak yang sempurna. Tapi dia yakin, segala perlakuan buruk orang lain adalah wujud ketidaktahuan orang lain terhadap diri Sanny yang sesungguhnya. Mungkin waktu yang akan merubah ini semua, menjadikan Sanny bertempat layak di hati orang yang mengenalnya, harap Sanny...

“Hai, itik, gitu ajah pengen nangis!” tegur Ichal di saat Sanny benar-benar ingin menitikkan air mata. Namun, yang ditegur malah tak menggubrisnya.
“Kalo kamu nangis, berarti kamu bukan wondergirl lagi!” ucap Ichal setengah berbisik. Meski kadang mengobrol, Ichal tetap fokus pada pelajaran yang diterangkan Pak Tunis.
“Apa sih, Chal...” Agak sesenggukan Sanny menanggapi candaan Ichal.
“Hehe, senyum donk...kayak gini nie!” Ichal memamerkan barisan gigi putihnya pada Sanny. Gadis itu jadi cekikikan melihat aksi cowok putih yang tubuhnya agak pendek ini.

Sanny bersyukur bahwa dalam hidup ini dia pernah bertemu dengan Ichal. Kunang-kunang kecil dari gelapnya hari-hari di kelas. Seperti itulah perumpamaan kekaguman Sanny pada kehadiran cowok itu.

***

Senin, jam 07.00 Wita.
Ujian akhir sekolah tengah berlangsung dengan khidmat. Terlihat siswa-siswi kelas 6 SD Gemilang 6-7 berbaur dengan suasana yang hening pagi ini. Beraneka ragam ekspresi mereka saat mengerjakan soal. Dari yang sangat santai mengerjakan, entah karena pintar atau cuek saja jawabannya benar atau tidak. Hingga yang kalut dan gelisah, berharap dapat contekan di saat genting seperti itu. Tapi, tidak leluasa karena melihat pengawas ujiannya yang sangar.

Cukup lama waktu yang ditentukan oleh panitia ujian untuk mengerjakan soal. Ujian yang sangat melelahkan bagi siswa-siswi kelas 6, apalagi ini adalah saat penentuan kelulusan mereka.
“Baik, anak-anak sekalian, waktu sembilan menit lagi untuk mengerjakan soal!” Pengawas telah mewanti-wanti agar bergegas menyelesaikan pengerjaan soal. Karuan saja ada celetukan kecewa dari beberapa siswa yang tak terima dengan sisa waktu yang diberikan.

Sampai pada hari ketiga, ujian akhir sekolah berjalan seperti biasanya. Khidmat, terkendali dan tentu saja ditambah ragam ekspresi anak kelas 6 SD Gemilang berbaur padu. Terlihat wajah Sanny yang serius mengerjakan soal ujian. Soal matematika yang menakutkan baginya coba ditaklukkan dengan sekuat usaha. Sanny bukan anak bodoh yang serta merta meminta contekan dari orang lain tanpa sekalipun mempelajarinya. Baginya meski orang lain menanggapnya bodoh, tapi dia tak ingin merasa pintar jika itu hasil menyontek. Semoga begitu...

Hari-hari ujian sekolah telah dilewati anak-anak kelas 6 dengan hati lega. Mereka hanya akan kembali harap-harap cemas pada saat penantian pengumuman kelulusan sekolah nanti. Sanny berjalan pulang ke rumah dengan wajah tertunduk. Tiba-tiba langkahnya terhenti seketika.
“Sanny!” Sebuah suara yang tak asing bagi Sanny memanggilnya sembari melambaikan tangan.
“Ya...!” jawab Sanny saat dia menoleh ke belakang.
“Ichal boleh pulang bareng ya sama Sanny? Yuk!” Dengan seenaknya tangan Sanny ditariknya begitu saja oleh Ichal. Sanny jadi terbengong-bengong tak mengerti dengan sikap anak lelaki itu.

Keduanya diam membisu dalam perjalanan pulang ke rumah. Namun, tampak Sanny penasaran sekali dengan tingkah Ichal. Ini pertama kalinya Ichal meminta pulang bersama dengannya.
“Chal, kenapa kamu mau bareng aku?” Tak tahan juga Sanny untuk tidak memulai pembicaraan.
“Yang pulang bareng aku biasanya si Ferdi kan, tapi dia udah pulang duluan tadi.” jawab Ichal.
“Oh gitu. Tapi kenapa sama aku?’
“Kamu temenku kan?”
“Kenapa mau bertemen sama Sanny? Yang lain ajah nggak.” Kata Sanny sedikit menyentil masalah hatinya.
“Aku mau, kenapa yang lain nggak?” sahut Ichal seadanya.
“Kok kamu balik nanya sie?” Agak kesal juga Sanny dibuatnya.
“Kenapa juga kamu bolak-balik pertanyaannya?” Segurat senyum kecut di wajah Ichal.
“Gimana sie?” bersungut-sungut Sanny sambil menggerutu. Namun, ekspresinya cepat berganti dengan keterkejutan dari Ichal. Tiba-tiba saja Ichalmenggenggam tangan Sanny, erat sekali seperti tak ingin lepas.
Hati Sanny jadi tak karuan saat ini. Ichal malah bersikap seperti biasa, wajahnya santai saja. Namun, gadis yang tangannya dipegang erat merasakan hal lain. Bagai ada dawai berdentang harmonis di hati Sanny.
“Sanny, hati-hati ya, jalannya padat banget.” Ucap Ichal kala mereka mencoba untuk menyeberangi jalan. Ichal bersikap seperti ingin menjaga Sanny saja.
“Chal, bukannya rumah kamu arah sana, kan? Mestinya mereka berpisah sesaat sebelum menyeberang tadi.
“Rumah kamu yang mana, Sanny?” tanya Ichal tanpa melepaskan genggamannya yang erat.
“Udah mau d lagkat nih.” Diliriknya Ichal dengan perasaan tak mengerti dan resah.
“Kenapa lihat-lihat?” Ichal merasa diperhatikan dari tadi, dia tahu Sanny terlihat bingung.
“Kamu mau mampir ke rumahku, ya? Rumahku kecil lho!” Sebenarnya Sanny senang jika Ichal mengantarnya, tapi perasaan tak menentulah yang membuat dia tidak siap harus lama dengan Ichal hari ini.
“Awas!” Sebuah bola sepak yang akan mengenai Sanny segera ditanggung Ichal mengenai punggungnya sendiri.
“Ichal, kamu nggak apa-apa, kan?” Khawatir Sanny terhadap keadaan Ichal yang sedikit meringis. Beniat hatinya mendamprat anak-anak kecil yang bermain bola sembarangan tersebut.
“Maaf ya, Kak, nggak sengaja kena.” Wakilnya, anak kecil bertubuh kerempeng berinisiatif meminta maaf pada Sanny dan Ichal.
“Hati-hati makanya!” Setengah emosi Sanny menanggapi mereka.
“Aku nggak apa-apa kok. Udah yuk pulang!” Ichal menarik lengan Sanny.

Tinggal beberapa meter lagi mereka menuju rumah Sanny. Ichal belum juga melepaskan genggaman tangannya pada Sanny. Semakin erat digenggamnya.
“Mestinya aku yang kena tadi kan?”
“Untungnya nggak, kan?”
“Hari ini kamu agak aneh, Chal.” tanya Sanny atas keheranannya.
“Aneh apaan?”
“Kenapa kamu mau pulang bareng aku, kenapa harus kamu yang kena bola tadi, kenapa sampai sekarang tanganku terus kamu genggam, trus kenapa kamu milih nggak kayak yang lain ajah? Ikut mereka nganggap aku bodoh dan aneh?” Emosi Sanny langsung tumpah, air matanya terasa ingin keluar saja.
“Kalo kamu kasih aku soal matematika, itu lebih gampang aku jawab!”
“Aku nggak bercanda, Chal!”
“Rumah kecil kamu yang mana? Nggak ada yang kecil!” Sepertinya perasaan Ichal tengah berkecamuk, ada alunan melodis mengalun di hatinya saat bersama Sanny. Tapi ia sadar masih terlalu kecil untuk merasakannnya.
“Udahlah, lepasin tangan aku!” Sanny berlari-lari kecil membuka gerbang sebuah rumah berukuran besar dengan halamannya yang luas. Ichal hanya termangu berdiri menyaksikan Sanny sebelum dia menghilang dari balik pintu rumahnya. Ichal baru benar-benar pergi setelah dipastikannya Sanny sudah berada di dalam.
***

Hari ini saat paling mendebarkan semua orang. Tak hanya para siswa, tapi para orang tua yang menyertai buah hati mereka dalam menerima pengumuman kelulusan. Tampak di sana Ayah Sanny, Pak Bruce dengan harap-harap cemas menunggu giliran dipanggil nama puteri tersayangnya untuk menerima raportnya. Mulutnya terkadang terlihat berkomat-kamit membaca doa untuk diberikan keputusan yang baik untuk keberhasilan puterinya.

Sanny melihat ke arah ayahnya yang baru saja keluar dari ruang kelasnya. Mimik wajah ayahnya nampak biasa-biasa saja. Nampak ditangannya tergenggam kertas pengumuman kelulusan milik Sanny. Ingin rasanya Sanny berlari merebut kertas itu dan membacanya sendiri. Ia sangat ingin mengetahui apakah ia telah dinyatakan lulus atau tidak dari sekolahnya. Tapi, entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah.
“Nak, ini hasil ujian kamu!” Ayah Sanny menyerahkan kertas putih dari genggamnannya. Namun, Sanny masih urung untuk membacanya.
“Ayah, apapun isinya Sanny hanya pasrah. Maafin Sanny kalau hasilnya nggak bagus, tapi Sanny ngerasa udah maksimal ujiannya, Yah.” Lantas, Sanny mulai membuka lipatan kertas putihnya dengan sangat hati-hati. Seksama dia membaca kata demi kata yang tertulis, hingga sampailah pada kata ANDA DINYATAKAN LULUS, Sanny tak hentinya mengucap syukur. Wajahnya nampak kembali berseri.
“Yah, usaha Sanny nggak sia-sia! Alhamdulillah.” Senyum lebar mengembang dari bibirnya. Begitupun dengan senyum seseorang yang sudah lama mengamati Sanny dari kejauhan. Tentu saja beserta senyum keberhasilannya.
***

Hari ini acara pelepasan siswa-siswi kelas 6 SD Gemilang 6-7. Nampak wajah-wajah sumringah semua hadirin yang berada di tempat. Acara yang bertabur keriangan dan kebahagiaan serta rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya telah memberi kelulusan untuk semua siswa.
Begitupun dengan wajah Sanny. Baginya inilah saatnya ia tersenyum selebar mungkin. Menikmati saat yang masih tersisa untuk berada di sekolah yang membuatnya memiliki banyak kenangan. Termasuk Ichal.........
“Sanny...” Sebuah suara dari seseorang yang baru saja dipikirkan oleh Sanny telah mengagetkannya.
“Ya!” Sanny menoleh ke arah Ichal yang berada di sampingnya.
“Hari ini kamu kelihatan beda, San.”
“Apanya yang beda?”
“Ichal lihat Sanny makin cantik....” Nampak Ichal malu-malu mengatakannya, tangannya digunakan untuk menutupi mukanya. Sanny yang dipuji pun turut bersemu pink di pipinya.
“Ichal juga. Tapi, Ichal nggak ganteng hari ini...” Kata Sanny.
“Oh, gitu.” Ichal malah agak manyun.
“Aku belum selesai, Chal, tapi... Ichal selalu ganteng tiap hari!”
“Yes! Makasih!” Satu cubitan gemas dihadiahi langsung oleh Ichal ke pipi chubby Sanny.

Meski suasana terlihat panas karena kegaduhan musik band sekolah. Tidak begitu dengan suasana yang menghangat di antara Sanny dan Ichal. Tak ada yang tahu apa yang dirasakan oleh hati mereka. Sebuah harmoni indah sedang mengalun bersahutan di sana.
“Ichal...” Sanny mencoba mencairkan ketegangan.
“Ya, Sanny...” Sorot mata Ichal terus menjurus kepada gadis di sampingnya.
“Maaf kalau Sanny nggak bisa kasih foto untuk kamu. Fotonya nggak ada.”
“Nggak apa-apa kok, Ichal nggak maksa. Tapi, hari ini Ichal bakal terus ingetin wajah cantik Sanny sampai kapan pun. Sebagai pengganti foto kamu!”
“Makasih ya, kamu udah mau temenan sama aku. Ichal emang cowok tangguh yang pernah Sanny temui.” Senyum manis itu kembali merekah dari bibir Sanny.
“Wih, jadi geer nih Ichal. Ehm, Sanny... Ichal juga makasih banget karena Sanny udah jadi temen Ichal, padahal aku ini pendek.”
“Siapa bilang, kamu cuma belum tinggi aja, Chal!” kata Sanny menghibur.
“Sanny, Ichal boleh nanya?”
“Apa?”
“Ichal tahu kalau kita ini masih terlalu kecil buat....ehm, anu...ehm, apa, eh...” Sanny jadi tersenyum dengan tingkah Ichal. Baru kali ini dia melihat cowok pintar itu agak aneh. Tapi, bukan tidak mungkin dia tahu apa yang ingin dikatakan Ichal.
“Ehm, kalau nanti Sanny udah gede, pinter dan cantik, trus punya kerjaan bagus, Sanny pengen ah nyari suami kayak Ichal!”
Kaget sambil tersenyum lebar Ichal mendengar pengakuan Sanny, gadis yang telah membuat Ichal deg-degan saat bersamanya. Gadis yang dikaguminya dalam kelemahannya. “Apa, Sanny? Kalo gitu Ichal harus berusaha jadi pria dewasa kayak Ayah Ichal, dapet kerja bagus, juga dapatin Sanny.... Amin!” Nekat bocah lelaki itu menggenggam tangan Sanny dan membawanya menari-nari di tengah riuhnya suara sorak-soray ke arah mereka. Lebi gaduh dari suara musik yang masih mengalun di acara perpisahan mereka. Tapi, sekali lagi itulah salah satu bagian manis dari hidupnya yang takkan Sanny lupakan...


**The End**