Teringat sebuah mimpi seorang perempuan pada kemarin malam, seekor kalong yang ditangkapnya, setengah sengaja diguntingnya salah satu sayapnya. Lalu, kalong itu berusaha terbang ke atas, lantas goyah dan jatuh mengenainya. Perempuan itu sontak kaget, jatuhnya kalong itu tepat di bahu kanannya. Geli, takut, tapi itulah akibat ulahnya pada kalong tak berdosa.
Sudah dua hari dua malam ini ia bermimpi aneh. Bangun-bangun badan selalu terasa lelah, seperti habis bergulat dalam mimpi buruk. Terjaga tiba-tiba dan kaget seketika, apa gerangan makna dari bunga-bunga tidurnya tersebut. Belakangan ia mulai bisa menebak makna mimpinya tersebut.
Subuh hari, setelah sahur ia memutuskan untuk online saja di depan laptopnya. Membuka situs terfavorit orang-orang zaman sekarang. Facebook. Salah satu grup yang cukup ia ikuti perkembangannya, menarik perhatiannya terhadap salah satu postingan. Seseorang menuliskan suatu keluhan, tulisan itu memang sudah ada beberapa hari sebelumnya. Namun, komentar dari para komentator masih berlangsung hingga kemaren. Entah untuk apa keluhan tersebut dibuat, terlalu beresiko bagi seseorang memposting sesuatu yang nantinya akan dibaca oleh ‘para petinggi’ grup tersebut. Isinya cukup kontroversial.
Awalnya perempuan itu masih enjoy menanggapi pernyataan miring itu. Namun, akhirnya gatal juga ingin mengerjai si pemosting yang ngasal dan ngalor ngidul. Hingga ia secara sadar berulah di status facebook yang bertujuan membalas dengan kalimat tak kalah pedas. Wajar perempuan itu merasa kali ini tersulut oleh tudingan miring orang lain. Karena tulisan tersebut bukan hanya ditujukan untuk dirinya sendiri, tapi juga instansi yang kini getol diikutinya. Merasa mulai menyukai wadah yang menampung aspirasi dan potensinya, juga tempatnya bergaul dengan orang-orang yang tidak hanya mementingkan keduniawian, tapi juga kehidupan ukhrawi. Barang tentu perempuan itu akan mencoba ‘meluruskan’ pernyataan miring orang lain yang menyudutkan.
Status terposting. Sejam berikutnya seseorang yang ia kenal, salah satu rekan sesama organsator mengomentarinya. Awalanya ambigu. Perempuan itu mengira rekannya ini ingin menegur, yah sebutlah agar tak usah menanggapinya dengan emosi. Sudah kepalang tanggung. Blak-blakan lah akhirnya. Ia kecewa, mengapa maksudnya disalahartikan sendiri oleh rekannya itu. Begitu pula dengan rekannya yang lain meminta klarifikasi.
Apa ia disangka membuat pernyataan kontroversial? Toh, kalimat yang terlontar dari instansi lain yang ada di grup itupun jauh lebih nyelekit. Kenapa harus dipermasalahkan? Dan kenapa pula yang lain hanya berdiam diri, tak ingin segera meluruskan anggapan miring? Perempuan itu merasa, status facebook tak selalu memberikan dampak efektif untuk memperbaiki sesuatu yang kadung tenggelam dalam stigma negatif. Ia sedikit kecewa.
Grup penampung aspirasi sampah, begitu ia sebut! Ironis. Ditengah demokrasi yang diagung-agungkan, kehidupan beragama yang masih dijunjung. Ternyata masih ada entitas mininya yang senang menghujat tanpa alasan jelas. Katanya menampung aspirasi, tapi banyak luakan ludah yang tertampung. Tanpa penyelesaian pasti oleh ‘petinggi-petinggi’nya. Apa mereka acuh, atau bahkan setuju dengan pelbagai pernyataan yang terlontar? Lantas, kehidupan menghargai agama seperti apa yang ada dalam persepsi mereka? Yang didepan tersenyum dengan para ikhwan-akhwat yang baru saja keluar dari masjid, kemudian diam-diam dibelakang berkata “...orang-orang yang berlindung di balik agama”. What!
Senegatif itukah pikiran mereka. Jika mereka para aktivis yang merasa cerdas pemikiran, mantap retorikanya, organisator mumpuni, ahli orasi, singa muda podium, pembawa arus perubahan... Lantas, mengapa tak cerdas mengolah informasi dengan sebaiknya. Tak tahu persis duduk persoalan, berbicara sesuka hati.Disuruh 'duduk bersama' saja enggan, akibatnya opini pragmatis bernada provokasi terangkai.
Bulan ramadhan yang datang tahun ini terasa berbeda bagiku, kekuatanku terkuras untuk menahan gejolak emosi hati, bukan lagi menahan keinginan membludak untuk mencicipi segarnya rasa es buah atau mantapnya nasi sop Banjar yang mengenyangkan.
Rasa sayang dan pembelaanku terhadap teman-teman yang kuhargai, menggerakkanku membalas pihak-pihak yang hanya mampu terbahak-bahak di dunia ini. Aku tahu pasti apa yang kulakukan, mungkin menuai resiko yang tak terbayangkan. Entah cacian dari sahabatku sendiri, tersingkir dari instansi, kepercayaan mereka yang menipis, entah apapun itu. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Perempuan itu merenungi apa yang telah dan akan terjadi. Acara buka puasa kemarin ia sengaja tak hadir, bukan takut menghadapi rekan-rekan. Hanya belum saatnya menjelaskan problemanya. Emosinya sedang mudah tersulut sekarang. Entah kenapa. Ia juga tak begitu mengerti mengapa dirinya mampu blak-blakan, berani mengambil kemungkinan yang tak menyenangkan.
Ya, ia akui bahwa tindakannya mungkin saja menimbulkan ancaman. Seperti pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Seandainya semua tahu, ia sama sekali tak bermaksud meruntuhkan apa yang kini perlahan dibangun olehnya dan teman-temannya. Jauh dalam lubuk hati, kebanggaan bisa bersama orang-orang seperti mereka. Yang mau menghargai dirinya yang mencoba membangun diri walau dimulai dengan merangkak.
Jika mereka mengira ini tindakan bodoh permpuan itu, ia sadar bahwa ia sesungguhnya manusia biasa yang tak bisa lepas dari bayang-bayang dosa. Bisa terjungkir saat mulai belajar berjalan, bemetamorfosa dari ulat kecil lemah menjadi kupu-kupu yang siap terbang yang kuat menantang deras angin. Ia akan berubah suatu saat, tapi tak sendiri. Tentu bersama calon kupu-kupu lainnya.
Tebersit lagi slide-slide mimpiku kemarin malam, sebuah motor kesayanganku yang kutinggalkan sendiri diparkiran. Sekembaliku, sudah ada yang mempreteli onderdil dan memberantaki sekitar motorku. Fatal, jok nya saja raib entah kemana. Setelah kucari ternyata jatuh ke sungai. Saat itu hujan turun deras, aliran sungai menghanyutkan jok kesayanganku. Berusaha sekuat tenaga kujangkau, tapi tak bisa. Baru setelah ku nekad menyeburkan diri ke air untuk mengambil jok yang tersangkut di tumpukan pohon pisang yang tumbang. Akhirnya aku dapat juga. Walau aku sadar, aku telah terlanjur membasahi pakaianku dan bergulat dengan ketakutanku di tengah badai. Demi jok motorku, tempat duduk yang membuatku nyaman saat berkendara...
Perlahan, one by one ia mulai menebak makna mimpi-mimpi yang dialami. Mungkin sebaiknya perempuan itu tak perlu blak-blakan menanggapi ocehan sampah oknum nakal. Walau lidah akan lebih tajam daripada pedang, ia juga bisa berubah lebih lembut dari sehelai sutera sekalipun jika kata-kata baik yang terlontar. Ia akan berusaha mengubah persepsi, meski manajemen emosi tak jarang keteter. Berusaha melawan para serdadu usil yang perlu pelurusan pemahaman itu, walau komandan mereka sepertinya tak berusaha mengurusi tingkah mereka. ^_^
Dia tak mau apa yang dibangunnya perlahan bersama rekannya, luluh lantak dan sia-sia. Hanya karena badai kecil yang menggores ujung kuku. Ya sudahlah, semoga masih terekam kuat sampai kapanpun jika, guguk berkicau, para pemenang tetap berlalu... hahaha
KAda kawa mambaca,, fontnya ngalih,, heh
BalasHapus