“Maaf, Mbak
Raisa, biar saya cicipi dulu.” Direbutnya kue brownies pemberian Cita,
sahabatku.
“Enak? Nih, buat
Bapak semua. Saya udah nggak pengin!” Dia sangka kue pemberian Cita ada
racunnya apa. Tentu saja tidak.
“Super
berlebihan, Sa, dia. Kalau begini jangankan gue, cowok aja segan deketin elo!”
Bisik Cita.
“Tau!”
Ini sudah kesekian kali bodyguard pilihan Papa harus menemaniku ke
manapun aku pergi. Semenjak Papa terpilih sebagai gubernur di kota seribu
sungai ini aku harus mengikuti prosedur standar yang telah ditetapkan. Memang
prosedur itu terfokus pada papa, tapi keluarganya juga ikut dapat imbas.
Apalagi saingan politiknya banyak yang tidak suka padanya. Pernah seminggu
setelah papa dilantik, bom kecil meledak di depan rumah dinas yang kami
tinggali. Maka dari itu papa disarankan oleh pihaknya untuk menggunakan jasa
pengamanan dan pengawalan ketat. Otomatis karena itu pula privasiku jadi
berkurang drastis.
“Aduh, gue kebelet nih, Ta. Gue mau ke toilet sebentar, ya.”
“Oke, gue temenin ya. Kan, gelap koridornya.” Kata Cita menemaniku
berlari di lorong koridor yang agak remang. Malam ini kelas kami ada jam
perkuliahan yang wajib diikuti.
Seperti biasanya, bodyguardku membuntutiku kemana pun aku pergi. “Mbak,
sebentar saya periksa dulu toiletnya.” Kepalanya menoleh kesana-kemari
memastikan tidak ada sesuatu berbahaya yang akan mengancam keselamatan dan
kenyamananku.
“Ya ampun, Sa, lebay banget pengawal lo!” Ujar Cita sambil geleng-geleng
kepala.
“Aduh, Pak, lama banget. Buruan napa!”
“Sudah, Mbak, ternyata di dalam hanya ada sepasang cicak. Silakan!”
“Busyet dah!” Cita tepuk jidat.
***
“Raisa, sekalian disini gue mau ngenalin elo sama temen gue, namanya
Anang. Dia generasi ketiga dari dinasti Anang.” Kata Cita tanpa basa-basi saat
aku diajaknya hang-out ke salah satu
rumah makan terkenal di Banjarmasin yang banyak memiliki cabang. Walau
kafe-kafe modern menjamur, suguhan pemandangan sungai dan lalu-lalang klotok atau perahu mesin khas Banjar
hanya bisa dinikmati disini. Simpel, tradisional, dan historis.
“Emangnya zaman kerajaan, lebay lo ah!” Kataku sambil melirik ke arah
pengawalku yang terpaksa kusuruh mencari meja sendiri.
“Eh, beneran. Bentar lagi orangnya datang.”
Kami menunggu orang yang dimaksud oleh Cita. Tapi, yang paling kutunggu
justeru soto Banjar yang melegenda itu. Di Banjarmasin, soto Banjar memang
makanan paling difavoritkan oleh masyarakatnya. Olahannya agak rumit, karena spicy dan terdiri dari campuran bahan
yang bermacam-macam. Meskipun kini soto
hampir bisa ditemui di banyak tempat di Indonesia dan banyak orang di luar daerah
yang bisa membuatnya, entah kenapa lebih enak jika diolah langsung oleh orang
asli Banjar.
“Silakan, Mbak.” Ujar pelayan yang mengantarkan pesanan kami.
“Terima kasih.” Sahut aku dan Cita bersamaan.
“Hai!” Tidak lama setelah pelayan tadi pamit, tiba-tiba seorang lelaki
muda berkulit putih dan bermata agak bulat menghampiri.
“Nang, silakan duduk.” Kata Cita mempersilakan.
Setelah aku berkenalan dan sedikit berbasa basi dengannya dia pun
mempersilakan kami menyantap makanan yang dipesan.
“Sebentar, Mbak, saya periksa dulu!” Seperti biasa Si Mr. Procedure
kembali menggangu acara jamuan makanku.
“Ya, udah, sendok Bapak sendiri ya.”
Tidak hanya itu, segala kudapan, minumanku, dan desert yang telah kupesan tidak terlewat dicicipinya. Kulihat Anang
hanya bengong, kurasa dia baru pertama kalinya melihat orang model begitu.
“Pak, ini higienis.” Kataku setengah berbisik agar sesi ‘pemeriksaan’
tidak menimbulkan keributan bagi pengunjung lain.
“Lapar kali dia, Sa.” Ujar Cita iseng.
***
Setelah berbincang dan menghabiskan semua makanan, aku dan Cita pamit
pulang. Pengawalku sudah siaga di depan mobilku.
“Makasih ya, Nang. Senang berkenalan dengan kamu. Oh iya, makanannya juga
enak-enak. Cita rasanya masih sama kayak dulu waktu aku kecil datang kemari.”
“Iya, Nang. Thanks ya!” Sahut
Cita sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.
“Ya, sama-sama. Jangan jera datang kemari ya.” Katanya sambil tersenyum.
Aku jadi teringat kejadian kurang mengenakkan tadi, “Ehm, maaf soal yang
barusan. Udah biasa begitu...”
“Udah prosedur standar, kan. Aku maklum kok. Mungkin puteri presiden,
puteri-puteri kerajaan di luar negeri, diperlakukan sama seperti kamu. Hanya
saja, mungkin akan sulit bagi seseorang untuk melakukan pendekatan dengan
mereka...”
“Tapi, aku nggak lho. Aku sungkan diperlakukan kayak tuan puteri.”
“Oh iya, aku hampir lupa.” Diserahkannya kotak kue berukuran sedang
bergambar lapis legit. “Buat teman jalan. Maaf, harusnya bisa lebih dari ini.”
Ujarnya tersipu.
“Wah, mau dong...” Cita mengintip kotak kue dan bersiap membukanya.
“Maaf, akan saya cek dulu!” Pengawalku tiba-tiba merampas kotak kue dari
genggaman Cita.
“Pak, ini cuma kue. Bukan bom! Hello...” Kata Cita mencoba mengambil
kembali kue itu dari pengawalku.
“Tidak, ini tetap prosedur standar!”
“Pak, please, jangan lebay.”
Mereka berdua menciptakan keributan dengan saling memperebutkan kotak kue,
begitu terus dalam beberapa menit. Membuat tontonan aneh untuk pengunjung rumah
makan.
Sejak pertemuan itu, hanya beberapa orang terdekatku, Cita dan Anang yang
memahami keadaanku sekarang. Mereka juga mulai terbiasa meskipun pada awalnya
merasa jengah harus mengikuti aturan yang berlaku. Cita yang sering sebal
karena privasi persahabatannya denganku terganggu. Atau Anang, ketika bertamu
ke rumahku harus disapa pemeriksaan ketat sebelum sampai ke ruang tamu
keluargaku. Itu pun ditambah interogasi Papa. Ia tetap memperbolehkanku jadi
diri sendiri, asalkan.. ya, tau sendiri lah.
Dan, seperti itulah keadaannya. Selama Papa masih menjabat, aku tidak
pernah terlepas dari pengawalan bodyguard. Satu sisi aku berterima kasih karena
bantuannya menjagaku dari ancaman keselamatan yang mungkin saja terjadi. Di
sisi lain, aku harus belajar membiasakan diri dengan segala aturan yang
ditentukan. Pada akhirnya semua butuh yang namanya.. waktu.
*The End*
#Note: Cerita ini hanya seru-seruan belaka. Adapun kesamaan nama, tokoh, karakter, tempat, properti, suasana, cuaca, wardrobe, make-up, aksesoris, duh.. capeknya nyebutin, hanya bisa-bisanya penulis aja. Sebagian beneran, sebagian dilebaykan. Tanpa bermaksud nyindir pihak manapun. Sekali lagi, ini seru-seruan aja.. piiis! :D