Ada apa aja ya di blog saya?

Minggu, 30 Juni 2013

Bodyguard Lebay


“Maaf, Mbak Raisa, biar saya cicipi dulu.” Direbutnya kue brownies pemberian Cita, sahabatku.
“Enak? Nih, buat Bapak semua. Saya udah nggak pengin!” Dia sangka kue pemberian Cita ada racunnya apa. Tentu saja tidak.
“Super berlebihan, Sa, dia. Kalau begini jangankan gue, cowok aja segan deketin elo!” Bisik Cita.
“Tau!”
Ini sudah kesekian kali bodyguard pilihan Papa harus menemaniku ke manapun aku pergi. Semenjak Papa terpilih sebagai gubernur di kota seribu sungai ini aku harus mengikuti prosedur standar yang telah ditetapkan. Memang prosedur itu terfokus pada papa, tapi keluarganya juga ikut dapat imbas. Apalagi saingan politiknya banyak yang tidak suka padanya. Pernah seminggu setelah papa dilantik, bom kecil meledak di depan rumah dinas yang kami tinggali. Maka dari itu papa disarankan oleh pihaknya untuk menggunakan jasa pengamanan dan pengawalan ketat. Otomatis karena itu pula privasiku jadi berkurang drastis.
“Aduh, gue kebelet nih, Ta. Gue mau ke toilet sebentar, ya.”
“Oke, gue temenin ya. Kan, gelap koridornya.” Kata Cita menemaniku berlari di lorong koridor yang agak remang. Malam ini kelas kami ada jam perkuliahan yang wajib diikuti.
Seperti biasanya, bodyguardku membuntutiku kemana pun aku pergi. “Mbak, sebentar saya periksa dulu toiletnya.” Kepalanya menoleh kesana-kemari memastikan tidak ada sesuatu berbahaya yang akan mengancam keselamatan dan kenyamananku.
“Ya ampun, Sa, lebay banget pengawal lo!” Ujar Cita sambil geleng-geleng kepala.
“Aduh, Pak, lama banget. Buruan napa!”
“Sudah, Mbak, ternyata di dalam hanya ada sepasang cicak. Silakan!”
 “Busyet dah!” Cita tepuk jidat.
***
“Raisa, sekalian disini gue mau ngenalin elo sama temen gue, namanya Anang. Dia generasi ketiga dari dinasti Anang.” Kata Cita tanpa basa-basi saat aku diajaknya hang-out ke salah satu rumah makan terkenal di Banjarmasin yang banyak memiliki cabang. Walau kafe-kafe modern menjamur, suguhan pemandangan sungai dan lalu-lalang klotok atau perahu mesin khas Banjar hanya bisa dinikmati disini. Simpel, tradisional, dan historis.
“Emangnya zaman kerajaan, lebay lo ah!” Kataku sambil melirik ke arah pengawalku yang terpaksa kusuruh mencari meja sendiri.
“Eh, beneran. Bentar lagi orangnya datang.”
Kami menunggu orang yang dimaksud oleh Cita. Tapi, yang paling kutunggu justeru soto Banjar yang melegenda itu. Di Banjarmasin, soto Banjar memang makanan paling difavoritkan oleh masyarakatnya. Olahannya agak rumit, karena spicy dan terdiri dari campuran bahan yang bermacam-macam.  Meskipun kini soto hampir bisa ditemui di banyak tempat di Indonesia dan banyak orang di luar daerah yang bisa membuatnya, entah kenapa lebih enak jika diolah langsung oleh orang asli Banjar.
“Silakan, Mbak.” Ujar pelayan yang mengantarkan pesanan kami.
“Terima kasih.” Sahut aku dan Cita bersamaan.
“Hai!” Tidak lama setelah pelayan tadi pamit, tiba-tiba seorang lelaki muda berkulit putih dan bermata agak bulat menghampiri.
“Nang, silakan duduk.” Kata Cita mempersilakan.
Setelah aku berkenalan dan sedikit berbasa basi dengannya dia pun mempersilakan kami menyantap makanan yang dipesan.
“Sebentar, Mbak, saya periksa dulu!” Seperti biasa Si Mr. Procedure kembali menggangu acara jamuan makanku.
“Ya, udah, sendok Bapak sendiri ya.”
Tidak hanya itu, segala kudapan, minumanku, dan desert yang telah kupesan tidak terlewat dicicipinya. Kulihat Anang hanya bengong, kurasa dia baru pertama kalinya melihat orang model begitu.
“Pak, ini higienis.” Kataku setengah berbisik agar sesi ‘pemeriksaan’ tidak menimbulkan keributan bagi pengunjung lain.
“Lapar kali dia, Sa.” Ujar Cita iseng.
***
Setelah berbincang dan menghabiskan semua makanan, aku dan Cita pamit pulang. Pengawalku sudah siaga di depan mobilku.
“Makasih ya, Nang. Senang berkenalan dengan kamu. Oh iya, makanannya juga enak-enak. Cita rasanya masih sama kayak dulu waktu aku kecil datang kemari.”
“Iya, Nang. Thanks ya!” Sahut Cita sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.
“Ya, sama-sama. Jangan jera datang kemari ya.” Katanya sambil tersenyum.
Aku jadi teringat kejadian kurang mengenakkan tadi, “Ehm, maaf soal yang barusan. Udah biasa begitu...”
“Udah prosedur standar, kan. Aku maklum kok. Mungkin puteri presiden, puteri-puteri kerajaan di luar negeri, diperlakukan sama seperti kamu. Hanya saja, mungkin akan sulit bagi seseorang untuk melakukan pendekatan dengan mereka...”
“Tapi, aku nggak lho. Aku sungkan diperlakukan kayak tuan puteri.”
“Oh iya, aku hampir lupa.” Diserahkannya kotak kue berukuran sedang bergambar lapis legit. “Buat teman jalan. Maaf, harusnya bisa lebih dari ini.” Ujarnya tersipu.
“Wah, mau dong...” Cita mengintip kotak kue dan bersiap membukanya.
“Maaf, akan saya cek dulu!” Pengawalku tiba-tiba merampas kotak kue dari genggaman Cita.
“Pak, ini cuma kue. Bukan bom! Hello...” Kata Cita mencoba mengambil kembali kue itu dari pengawalku.
“Tidak, ini tetap prosedur standar!”
“Pak, please, jangan lebay.” Mereka berdua menciptakan keributan dengan saling memperebutkan kotak kue, begitu terus dalam beberapa menit. Membuat tontonan aneh untuk pengunjung rumah makan.
Sejak pertemuan itu, hanya beberapa orang terdekatku, Cita dan Anang yang memahami keadaanku sekarang. Mereka juga mulai terbiasa meskipun pada awalnya merasa jengah harus mengikuti aturan yang berlaku. Cita yang sering sebal karena privasi persahabatannya denganku terganggu. Atau Anang, ketika bertamu ke rumahku harus disapa pemeriksaan ketat sebelum sampai ke ruang tamu keluargaku. Itu pun ditambah interogasi Papa. Ia tetap memperbolehkanku jadi diri sendiri, asalkan.. ya, tau sendiri lah.
Dan, seperti itulah keadaannya. Selama Papa masih menjabat, aku tidak pernah terlepas dari pengawalan bodyguard. Satu sisi aku berterima kasih karena bantuannya menjagaku dari ancaman keselamatan yang mungkin saja terjadi. Di sisi lain, aku harus belajar membiasakan diri dengan segala aturan yang ditentukan. Pada akhirnya semua butuh yang namanya.. waktu.

*The End*

#Note: Cerita ini hanya seru-seruan belaka. Adapun kesamaan nama, tokoh, karakter, tempat, properti, suasana, cuaca, wardrobe, make-up, aksesoris, duh.. capeknya nyebutin, hanya bisa-bisanya penulis aja. Sebagian beneran, sebagian dilebaykan. Tanpa bermaksud nyindir pihak manapun. Sekali lagi, ini seru-seruan aja.. piiis! :D

Selasa, 18 Juni 2013

Abu-Abu Cinta


Sore ini dosenku meminta seluruh mahasiswa mengumpulkan tugas membuat miniatur bangunan rumah berkonsep Go Green. Sesuai isu globalisasi yang masih marak di abad 21. Terbuat dari tanah liat atau semen yang diwarnai dengan cat. Maklum sebagai mahasiswa jurusan arsitektur, tugas seperti ini sudah sering kuperoleh. Meskipun agak rumit, tapi aku senang bisa mengeskplorasi ideku. Kuanggap saja aku seperti anak kecil yang bermain dengan lilin mainan. Hanya perlu memejamkan mata menanti inspirasi, membentuknya dalam imajinasi, lantas mewujudkannya jadi bentuk nyata. Selesai.
Kali ini miniaturku tidak bisa dibawa naik motorku. Dibonceng dengan bantuan temanku membawakannya juga tidak mudah. Syukurlah berjalan kaki dari kostku ke kampus tidak terlalu jauh. Tapi, pegal juga membawa papan karya lebar seberat lima kilogram.
“Mau kubawain, nggak? Sini.” Tawarnya padaku. Tapi, belum sempat kujawab langsung diraihnya papan karyaku.
“Kamu nggak bisa ya nggak asal rebut punya orang?” Kataku kesal.
“Kan, aku nawarin bantuan.”
“Karyamu mana?”
“Udah kuserahkan minggu lalu.” Aku berhenti sejenak. Kutatap dia yang berjalan di depanku. Banyak hal yang tidak kumengerti tentang lelaki ini. Kadang cuek, tapi sewaktu-waktu bisa ramah sekali.
“Eh, mumpung kamu nggak bawa apa-apa, tolong bawain tasku ya.” Katanya menyeringai ke arahku.
“Yeee.. pamrih!” Kuambil tas selempang dari bahunya. Kucibir dia dengan iseng.
“Makasih ya, sayaaang!” Dengan tengilnya dia terkekeh. Membuatku geli saja.
Ini sudah kesekian kalinya dia membantuku, baik diminta maupun tidak. Pertama biasa saja, tapi lama-lama aku merasa aneh. Bukan, bukan karena aku gede rasa. Tapi, harus kuakui jika dia tipe pria yang menarik. Baik, pintar dan ramah. Banyak mahasiswi yang senang meminta sarannya akan tugas-tugas perkuliahan. Di kampus, di facebook, mereka berakrab ria. Awalnya aku menebak dia playboy, aku frontal menghindari mentah-mentah tipe ini. Tapi, jika playboy kenapa sampai sekarang dia tak punya kekasih. Toh, pada akhirnya dia dan para mahasiswi itu tampak seperti teman biasa. Kemungkinan dia tipe pria penyenang hati wanita. Belakangan kusadari rasa aneh itu muncul karena aku mulai kepo tentangnya.
“Hati-hati!” Ujarnya menahanku sesaat sebelum kendaraan yang melaju di sebelahku menyentuh lengan bajuku.
Aku tidak begitu waspada. Hampir saja tersenggol pengendara motor.
“Makasih ya, Nino!”
“Sama-sama, Jenita sayaaang. Lain kali jalannya nggak pake ngelamun lagi ya. Apa sih yang lagi kamu pikirin? Utang? Kost nunggak? Cowok?” Kudengarkan saja kebiasaannya nyerocos seperti itu.
“Ih, kepo deh!” Kutinggalkan dia sambil berlari-lari kecil.
“Tungguin, berat nih.” Katanya saat berusaha mengimbangi langkahku.
“Kenapa sih akhir-akhir ini kamu jutek banget sama aku.” Diliriknya jam tangannya. “Masih ada lima menit.” Katanya sambil meletakkan papan karyaku di meja praktik.
“Apa?”
“Jelasin kenapa akhir-akhir ini kamu sering nyuekin dan ngejutekin aku?”
“Nggak ada apa-apa kok!” Aku mengalihkan perhatian dengan mengecek miniaturku.
“Ada!”
“Nggak!”
“Ada..” Ucapnya lirih, merunduk di sampingku yang tengah membersihkan sisa-sisa debu di miniatur.
Kuambil nafas panjang. “Sebenarnya aku sebel banget sama kamu. Setiap ke kampus, di kelas ngelihat kamu. Di sosial media kamu juga nongol. Dimana-mana kamu ada. Kamu annoying, tau!”
“Masalah buat kamu?” Kali ini tidak pakai gayanya Shoimah.
“Aku sebel kamu manggil aku ‘sayang’ melulu. Rasanya jengah banget. Sebagai cewek aku bukan tipe yang senang dipanggil gitu sama cowok, apa lagi kamu.. pacar bukan, bukan siapa-siapa aku!” Dia masih diam mendengarkan nada bicaraku yang mulai meninggi.
“Kamu perhatian, suka ngebantu aku. Aku berterima kasih banget. Yang aku nggak ngerti, semua orang terutama cewek-cewek juga kamu perlakukan sama. Ya, memang itu hak kamu. Aku cuma nggak suka kalau kamu anggap aku sama kayak yang lainnya. Siapa yang tahu kalau kamu berniat menggombali mereka. Terserahmu, itu tak berpengaruh padaku. Jika sebaliknya, kamu memang sekedar berbuat baik, syukurlah.” Kupelankan sedikit intonasiku karena kelas sudah mulai ramai.
“Parahnya akhir-akhir ini aku jadi sering kepo tentang kamu. Maaf banget kalau pembicaraanku seolah berisi prasangka, tapi jauh dalam hati aku nggak bermaksud demikian. Alasannya demi mencari kejelasan dari semua sikap yang kamu tampilkan. Aku nggak mau jika yang kamu kasih putih justeru kuartikan merah jambu. Aku suka teka-teki, tapi kamu itu teka-teki yang paling sulit aku terka. Please, apa pun itu, jangan membuat aku ngerasa murahan sebagai cewek karena perlakuan kamu selama ini...”
Sepuluh detik kemudian...
“Ya, rekan-rekan mahasiswa, silakan kumpulkan karya kalian di meja saya sekarang juga. Tidak diserahkan hari ini, maka tak ada kesempatan untuk besok. Ayo, ini sudah deadline.” Dosenku tiba-tiba membuyarkan semuanya.
Baru saja aku hendak mengangangkat papan miniaturku, “Duduklah, biar aku saja.” Kupandangi Nino kembali merebut milikku, ia berjalan hati-hati di tengah desakan mahasiswa yang berlalu-lalang. Membawa karyaku seolah tak ingin itu rusak sedikit pun.
Mungkin tak sekarang kuperoleh jawaban atas teka-teki itu. Mungkin saja aku hanya dicukupkan untuk merasakan kehadirannya, membentuknya, dan mewujudkannya. Seperti miniatur karyaku...
***

NB: Kali ini ada benang merahnya, dilarang PHP! Hwahaha... yang disinggung jangan marah. *damai*

Shocking Day


Mantan kekasihku di kampus mengundangku ke acara resepsi pernikahannya hari ini. Sengaja hari ini aku berdandan lebih parlente, siapa tahu dapat kekasih baru. Sesaat setelah kumasuki aula acara langsung terdengar alunan musik gambus yang membahana. Kutatap sekilas kedua mempelai yang dari kejauhan tampak sibuk menyalami tamu-tamu undangan. Mereka seperti membentuk antrian sembako saja. Daripada ikutan mengantri lebih baik kutuju deretan hidangan prasmanan yang tersedia. Barulah nanti kusalami yang punya hajat. Ada banyak jenis masakan Banjar disini. Ah, kupilih soto Banjar saja.
Tiba-tiba ada seorang wanita cantik berdiri di sebelahku. Tangannya mengacak-acak sendok dan garpu yang akan digunakannya. “Kamu diundang juga, Nang?”
“I..iya.” Kujawab sambil tersenyum kikuk. Kenapa dia tahu namaku ya. Ah, siapa yang tidak mengenaliku.
“Maaf.” Kecap manis yang hendak kutuang ke sotoku tak sengaja tersenggol lengan mulusnya, mengotori kemeja sasirangan biruku.
“Ah, nggak apa-apa, cantik.” Kataku agar dia tidak usah merasa bersalah.
“Sekali lagi sorry ya, Nang.” Kali ini dia menyodorkan selembar tisu kepadaku.
“Sebagai permintaan maaf gimana kalau kita cari meja. Nggak enak kan berdiri disini aja.” Modus kujalankan.
Kucari meja bundar yang agak jauh dari panggung hiburan, agar tidak terlalu berisik. Setelah kusorongkan bangku untuknya duduk, kuajak dia berkenalan.
“Ehm, aku Anang. Anang Khairani Syahputra. Kamu?”
“Tahu kok Anang nama kamu. Kamu beneran nggak kenal aku?” Ujarnya sebelum menyuap sesendok bistik.
Aku terkesiap. Kulirik dia yang tengah mengunyah bistik sapi yang lezat. Mulutnya tidak terlalu menutup saat berkunyah. Memang agak familiar gadis ini. Seperti seseorang. Ah, tidak mungkin secantik ini, mana langsing lagi.
“Kamu..” Makananku saja masih ku nomorduakan, habisnya aku penasaran sekali dengannya.
“Naimah Putri.” Dengan anggunnya laksana puteri keraton, dia mengelap sisa sambal bistik yang menempel di ujung bibirnya.
Apa? Kali ini aku agak kaget. Tidak menyangka gadis di sebelahku adalah mantan pacarku di SMA, cinta monyetku yang dulu kuledek mirip monyet. Kupikir selama pacaran dengannya aku bisa membawanya having fun tapi teman-temanku justeru menjadikannya bahan ejekan. Alih-alih membelanya, karena merasa dibuatnya malu, besoknya aku memutuskan hubungan kami. Karena tidak berhasil, ya sudah kuselingkuh saja. Pada akhirnya dia benar-benar memutuskanku.
“Beneran Nay?” Aku masih melongo.
Soto Banjar yang sebenarnya salah satu masakan paling spicy, rasanya bagai hambar di lidah. Ini berlebihan ya. Sungguh Naimah merebut perhatianku.
“Yang dulu kamu bilang tonggos..” Katanya mendelik ke arahku.
“Tapi, aku suka!” Kilahku. Aku suka melihatnya tersenyum, giginya dipagari kawat gigi yang trendi.
“Trus, kamu bilang aku kalo makan mirip monyet!” Pas ‘monyetnya’ jarinya menunjuk arahku.
“Cuma bercanda kok, suer deh!” Damai untuk Naimah. Aku terkekeh manja.
“Abis itu, kamu duain..eh tigain sama cewek sekolah sebelah. Sebab, kata kamu aku cupu.” Mimiknya dibuat pilu.
“Tapi, sekarang kamu can..” Belum genap bilang cantik, tiba-tiba dua gadis yang kukenal duduk di depanku.
“Hai Anang, Kurnia sama Mega boleh numpang duduk disini ya?” Izinnya sambil menaroh secangkir es buah ke atas meja.
Dandanan mereka yang high class plus tingkah centilnya tentu saja membuatku makin shock hari ini.
 “Iya nih, mejanya pada penuh semua di kawinannya Raisa.” Kata Mega. Diseruputnya soto Banjar ke mulutnya. Tampak bekas lipstik merah menyala nya ikut berlepotan di ujung sendok.
Aku ingat, baru saja Naimah menyebutkan mantan-mantanku dari sekolah sebelah, kebetulan sekali mereka datang. Dasar panjang umur.
“Kalian, apa kabar?” Jujur saja, sebenarnya aku merasa surprise dengan kehadiran mantan-mantanku. Apalagi berada di satu meja yang sama.
“Kabar baik. Ehm, kamu masih seramah dulu ya.” Sahut Kurnia dengan senyum centilnya.
“Oh iya, kalian kok bisa diundang Raisa juga?” Tanyaku.
“Kami temen satu les Mandarin.” Jawab Kurnia dan Mega hampir bersamaan. Mereka memang sahabat setia, sama-sama berisik dan tentu saja tanpa saling mengetahui keduanya pernah kupacari diam-diam. Pas ketahuan, mereka memang sempat bertengkar tapi kemudian persahabatan sejati mengalahkan ego keduanya.
Kulihat Naimah lebih memilih menikmati orkes gambus, sepertinya dia tidak tertarik ikut pembicaraan.
“Oh iya, kamu yang pernah nganterin Raisa les kan?” Tanya Kurnia membuyarkan perhatian Naimah.
“Iya.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Jadi, Nay kenal Raisa juga..” Dia hanya menggangguk.
“Ehm, maaf nih, aku duluan ya.” Naimah hendak beranjak menuju arah pelaminan.
“Tunggu aku, Nay.” Kutahan lengannya. Entah kenapa aku lebih memilih beranjak daripada berlama-lama duduk dengan dua mantanku lainnya.
“Yuk, buruan mumpung nggak ada antrian. Tapi.. lepasin tanganku donk.”
“Eh iya, maaf.” Ujarku cengengesan.
“Selamat ya, bro. Beruntung banget elo dapetin Raisa. Nggak bakal nyesel deh elo, man!” Kataku sambil menyalami erat suami Raisa.
“Keluar deh ‘buaya’ nya!” Kata Raisa terkekeh.
Kuakui dibanding dengan mantan-mantanku, hanya dengan Raisa lah kami putus baik-baik. Meskipun rasanya galau juga pas dia lebih memilih dijodohkan orangtuanya buat nikah, aku gampang move on. Prinsipku, cinta itu seperti taksi. Ditinggal satu taksi tak masalah, masih bisa cari taksi lainnya.
“Hai, sepupu, makasih ya udah datang. Nggak nyangka deh barengan Anang lagi.” Goda Raisa sembari bercipika-cipiki dengan Naimah.
“Oh, jadi kalian sepupuan.” Keduanya tersenyum penuh arti. Banyak hal-hal mengejutkan hari ini.
Setelah keluar dan menuju parkiran, “Nay, mau kuanter, nggak?” Ajakku. Masih modus yang sama, siapa tahu Naimah masih menjomlo.
“Nggak usah, Nang, terima kasih. Aku nunggu jemputan.” Tolaknya secara halus.
“Ehm, nggak nyangka ya kamu ternyata sepupuan sama Raisa.” Kataku terus berbasa-basi. Naimah yang masih se-cuek dulu. Jika tidak dimulai pembicaraan, kadang dia diam saja. Memang agak membosankan, tapi aku banyak trik yang bisa membuat wanita tertarik bicara denganku.
“Nggak nyangka kan dunia ini terasa sempit.”
“Iya, hehe..” Duh, bicara apa lagi ya.
“Ehm, nggak nyangka juga kamu sekarang cantik.” Yes! Akhirnya kata-kata yang tadi sempat tertahan kini terlontar dari sangkarnya.
“Nay, aku..” Hampir saja kuraih lengannya. Berharap bisa mengajaknya kembali jadi kekasihku. Kalau saja...
“Sayang!” Dilambainya seorang pria gagah berkendara kuda besi merk Kawasaki Ninja keluaran tahun 2004. Sang pria tepat berhenti di hadapannya.
“Maaf ya isteriku sayang, jadi nunggu lama.” Ujarnya sambil memasangkan helm ke kepala Naimah.
“Nang, aku duluan ya.” Naimah pamit. Tak lama motor pun melaju kencang dan meninggalkanku dengan sebulat huruf ‘O’ besar muncul dari mulutku.
Baru kali ini patah hati secara instan. Raisa nikah, Naimah apa lagi. Soto Banjar dan bistik sapiku ludes...
“Hoy, Anang, melongo aja kamu!” Kurnia menepuk bahu kananku, membuatku kaget.
“Iya, nih. Mending jalan sama kita-kita yuk!” Mega tidak kalah. Kali ini disenggolnya bahu kiriku, hampir saja aku jatuh.
“Arrrggggh! Apa-apaan sih kalian!” Kataku kesal.
“Uh, playboy sensi.”
Daripada jadi sasaran cewek-cewek gila lebih baik aku kabur.
“Anang, tunggu kita-kita!!!” Mereka mengejarku.
Aaaaaarrrrrggggghh, socking day jangan lagi-lagi deh!
***
NB: Haha, cerita ini sekedar seru-seruan aja. Kalau pun ada benang merah, ehm, cowok2 jangan pernah niat jadi playboy deh. Dah gitu aja! Hehehe...