Sore ini dosenku meminta seluruh mahasiswa mengumpulkan tugas membuat
miniatur bangunan rumah berkonsep Go Green. Sesuai isu globalisasi yang masih
marak di abad 21. Terbuat dari tanah liat atau semen yang diwarnai dengan cat.
Maklum sebagai mahasiswa jurusan arsitektur, tugas seperti ini sudah sering
kuperoleh. Meskipun agak rumit, tapi aku senang bisa mengeskplorasi ideku.
Kuanggap saja aku seperti anak kecil yang bermain dengan lilin mainan. Hanya
perlu memejamkan mata menanti inspirasi, membentuknya dalam imajinasi, lantas
mewujudkannya jadi bentuk nyata. Selesai.
Kali ini miniaturku tidak bisa dibawa naik motorku. Dibonceng dengan
bantuan temanku membawakannya juga tidak mudah. Syukurlah berjalan kaki dari
kostku ke kampus tidak terlalu jauh. Tapi, pegal juga membawa papan karya lebar
seberat lima kilogram.
“Mau kubawain, nggak? Sini.” Tawarnya padaku. Tapi, belum sempat kujawab
langsung diraihnya papan karyaku.
“Kamu nggak bisa ya nggak asal rebut punya orang?” Kataku kesal.
“Kan, aku nawarin bantuan.”
“Karyamu mana?”
“Udah kuserahkan minggu lalu.” Aku berhenti sejenak. Kutatap dia yang
berjalan di depanku. Banyak hal yang tidak kumengerti tentang lelaki ini.
Kadang cuek, tapi sewaktu-waktu bisa ramah sekali.
“Eh, mumpung kamu nggak bawa apa-apa, tolong bawain tasku ya.” Katanya menyeringai
ke arahku.
“Yeee.. pamrih!” Kuambil tas selempang dari bahunya. Kucibir dia dengan
iseng.
“Makasih ya, sayaaang!” Dengan tengilnya dia terkekeh. Membuatku geli
saja.
Ini sudah kesekian kalinya dia membantuku, baik diminta maupun tidak. Pertama
biasa saja, tapi lama-lama aku merasa aneh. Bukan, bukan karena aku gede rasa.
Tapi, harus kuakui jika dia tipe pria yang menarik. Baik, pintar dan ramah. Banyak
mahasiswi yang senang meminta sarannya akan tugas-tugas perkuliahan. Di kampus,
di facebook, mereka berakrab ria. Awalnya aku menebak dia playboy, aku frontal
menghindari mentah-mentah tipe ini. Tapi, jika playboy kenapa sampai sekarang
dia tak punya kekasih. Toh, pada akhirnya dia dan para mahasiswi itu tampak
seperti teman biasa. Kemungkinan dia tipe pria penyenang hati wanita. Belakangan
kusadari rasa aneh itu muncul karena aku mulai kepo tentangnya.
“Hati-hati!” Ujarnya menahanku sesaat sebelum kendaraan yang melaju di
sebelahku menyentuh lengan bajuku.
Aku tidak begitu waspada. Hampir saja tersenggol pengendara motor.
“Makasih ya, Nino!”
“Sama-sama, Jenita sayaaang. Lain kali jalannya nggak pake ngelamun lagi
ya. Apa sih yang lagi kamu pikirin? Utang? Kost nunggak? Cowok?” Kudengarkan
saja kebiasaannya nyerocos seperti
itu.
“Ih, kepo deh!” Kutinggalkan dia sambil berlari-lari kecil.
“Tungguin, berat nih.” Katanya saat berusaha mengimbangi langkahku.
“Kenapa sih akhir-akhir ini kamu jutek banget sama aku.” Diliriknya jam
tangannya. “Masih ada lima menit.” Katanya sambil meletakkan papan karyaku di
meja praktik.
“Apa?”
“Jelasin kenapa akhir-akhir ini kamu sering nyuekin dan ngejutekin aku?”
“Nggak ada apa-apa kok!” Aku mengalihkan perhatian dengan mengecek miniaturku.
“Ada!”
“Nggak!”
“Ada..” Ucapnya lirih, merunduk di sampingku yang tengah membersihkan
sisa-sisa debu di miniatur.
Kuambil nafas panjang. “Sebenarnya aku sebel banget sama kamu. Setiap ke
kampus, di kelas ngelihat kamu. Di sosial media kamu juga nongol. Dimana-mana
kamu ada. Kamu annoying, tau!”
“Masalah buat kamu?” Kali ini tidak pakai gayanya Shoimah.
“Aku sebel kamu manggil aku ‘sayang’ melulu. Rasanya jengah banget.
Sebagai cewek aku bukan tipe yang senang dipanggil gitu sama cowok, apa lagi
kamu.. pacar bukan, bukan siapa-siapa aku!” Dia masih diam mendengarkan nada
bicaraku yang mulai meninggi.
“Kamu perhatian, suka ngebantu aku. Aku berterima kasih banget. Yang aku
nggak ngerti, semua orang terutama cewek-cewek juga kamu perlakukan sama. Ya,
memang itu hak kamu. Aku cuma nggak suka kalau kamu anggap aku sama kayak yang
lainnya. Siapa yang tahu kalau kamu berniat menggombali mereka. Terserahmu, itu
tak berpengaruh padaku. Jika sebaliknya, kamu memang sekedar berbuat baik, syukurlah.”
Kupelankan sedikit intonasiku karena kelas sudah mulai ramai.
“Parahnya akhir-akhir ini aku jadi sering kepo tentang kamu. Maaf banget
kalau pembicaraanku seolah berisi prasangka, tapi jauh dalam hati aku nggak
bermaksud demikian. Alasannya demi mencari kejelasan dari semua sikap yang kamu
tampilkan. Aku nggak mau jika yang kamu kasih putih justeru kuartikan merah
jambu. Aku suka teka-teki, tapi kamu itu teka-teki yang paling sulit aku terka.
Please, apa pun itu, jangan membuat
aku ngerasa murahan sebagai cewek karena perlakuan kamu selama ini...”
Sepuluh detik kemudian...
“Ya, rekan-rekan mahasiswa, silakan kumpulkan karya kalian di meja saya
sekarang juga. Tidak diserahkan hari ini, maka tak ada kesempatan untuk besok.
Ayo, ini sudah deadline.” Dosenku
tiba-tiba membuyarkan semuanya.
Baru saja aku hendak mengangangkat papan miniaturku, “Duduklah, biar aku
saja.” Kupandangi Nino kembali merebut milikku, ia berjalan hati-hati di tengah
desakan mahasiswa yang berlalu-lalang. Membawa karyaku seolah tak ingin itu
rusak sedikit pun.
Mungkin tak sekarang kuperoleh jawaban atas teka-teki itu. Mungkin saja
aku hanya dicukupkan untuk merasakan kehadirannya, membentuknya, dan
mewujudkannya. Seperti miniatur karyaku...
***
NB: Kali ini ada benang merahnya, dilarang PHP! Hwahaha... yang disinggung jangan marah. *damai*
perasaan gw komen sesuatu dsni tempo hari,,
BalasHapusdihapus ye? :p
perasaan jg kgak ada deh, sist.. 0_o
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus