Mantan
kekasihku di kampus mengundangku ke acara resepsi pernikahannya hari ini. Sengaja
hari ini aku berdandan lebih parlente, siapa tahu dapat kekasih baru. Sesaat
setelah kumasuki aula acara langsung terdengar alunan musik gambus yang membahana.
Kutatap sekilas kedua mempelai yang dari kejauhan tampak sibuk menyalami
tamu-tamu undangan. Mereka seperti membentuk antrian sembako saja. Daripada
ikutan mengantri lebih baik kutuju deretan hidangan prasmanan yang tersedia. Barulah
nanti kusalami yang punya hajat. Ada banyak jenis masakan Banjar disini. Ah,
kupilih soto Banjar saja.
Tiba-tiba
ada seorang wanita cantik berdiri di sebelahku. Tangannya mengacak-acak sendok
dan garpu yang akan digunakannya. “Kamu diundang juga, Nang?”
“I..iya.”
Kujawab sambil tersenyum kikuk. Kenapa dia tahu namaku ya. Ah, siapa yang tidak
mengenaliku.
“Maaf.”
Kecap manis yang hendak kutuang ke sotoku tak sengaja tersenggol lengan
mulusnya, mengotori kemeja sasirangan biruku.
“Ah,
nggak apa-apa, cantik.” Kataku agar dia tidak usah merasa bersalah.
“Sekali
lagi sorry ya, Nang.” Kali ini dia menyodorkan selembar tisu kepadaku.
“Sebagai
permintaan maaf gimana kalau kita cari meja. Nggak enak kan berdiri disini
aja.” Modus kujalankan.
Kucari
meja bundar yang agak jauh dari panggung hiburan, agar tidak terlalu berisik.
Setelah kusorongkan bangku untuknya duduk, kuajak dia berkenalan.
“Ehm,
aku Anang. Anang Khairani Syahputra. Kamu?”
“Tahu
kok Anang nama kamu. Kamu beneran nggak kenal aku?” Ujarnya sebelum menyuap
sesendok bistik.
Aku
terkesiap. Kulirik dia yang tengah mengunyah bistik sapi yang lezat. Mulutnya
tidak terlalu menutup saat berkunyah. Memang agak familiar gadis ini. Seperti
seseorang. Ah, tidak mungkin secantik ini, mana langsing lagi.
“Kamu..”
Makananku saja masih ku nomorduakan, habisnya aku penasaran sekali dengannya.
“Naimah
Putri.” Dengan anggunnya laksana puteri keraton, dia mengelap sisa sambal
bistik yang menempel di ujung bibirnya.
Apa?
Kali ini aku agak kaget. Tidak menyangka gadis di sebelahku adalah mantan
pacarku di SMA, cinta monyetku yang dulu kuledek mirip monyet. Kupikir selama
pacaran dengannya aku bisa membawanya having
fun tapi teman-temanku justeru menjadikannya bahan ejekan. Alih-alih
membelanya, karena merasa dibuatnya malu, besoknya aku memutuskan hubungan kami.
Karena tidak berhasil, ya sudah kuselingkuh saja. Pada akhirnya dia benar-benar
memutuskanku.
“Beneran
Nay?” Aku masih melongo.
Soto
Banjar yang sebenarnya salah satu masakan paling spicy, rasanya bagai hambar di lidah. Ini berlebihan ya. Sungguh
Naimah merebut perhatianku.
“Yang
dulu kamu bilang tonggos..” Katanya mendelik ke arahku.
“Tapi,
aku suka!” Kilahku. Aku suka melihatnya tersenyum, giginya dipagari kawat gigi
yang trendi.
“Trus,
kamu bilang aku kalo makan mirip monyet!” Pas ‘monyetnya’ jarinya menunjuk arahku.
“Cuma
bercanda kok, suer deh!” Damai untuk Naimah. Aku terkekeh manja.
“Abis
itu, kamu duain..eh tigain sama cewek sekolah sebelah. Sebab, kata kamu aku
cupu.” Mimiknya dibuat pilu.
“Tapi,
sekarang kamu can..” Belum genap bilang cantik, tiba-tiba dua gadis yang
kukenal duduk di depanku.
“Hai
Anang, Kurnia sama Mega boleh numpang duduk disini ya?” Izinnya sambil menaroh
secangkir es buah ke atas meja.
Dandanan
mereka yang high class plus tingkah
centilnya tentu saja membuatku makin shock
hari ini.
“Iya nih, mejanya pada penuh semua di
kawinannya Raisa.” Kata Mega. Diseruputnya soto Banjar ke mulutnya. Tampak
bekas lipstik merah menyala nya ikut berlepotan di ujung sendok.
Aku
ingat, baru saja Naimah menyebutkan mantan-mantanku dari sekolah sebelah,
kebetulan sekali mereka datang. Dasar panjang umur.
“Kalian,
apa kabar?” Jujur saja, sebenarnya aku merasa surprise dengan kehadiran mantan-mantanku. Apalagi berada di satu
meja yang sama.
“Kabar
baik. Ehm, kamu masih seramah dulu ya.” Sahut Kurnia dengan senyum centilnya.
“Oh
iya, kalian kok bisa diundang Raisa juga?” Tanyaku.
“Kami
temen satu les Mandarin.” Jawab Kurnia dan Mega hampir bersamaan. Mereka memang
sahabat setia, sama-sama berisik dan tentu saja tanpa saling mengetahui
keduanya pernah kupacari diam-diam. Pas ketahuan, mereka memang sempat
bertengkar tapi kemudian persahabatan sejati mengalahkan ego keduanya.
Kulihat
Naimah lebih memilih menikmati orkes gambus, sepertinya dia tidak tertarik ikut
pembicaraan.
“Oh
iya, kamu yang pernah nganterin Raisa les kan?” Tanya Kurnia membuyarkan
perhatian Naimah.
“Iya.”
Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Jadi,
Nay kenal Raisa juga..” Dia hanya menggangguk.
“Ehm,
maaf nih, aku duluan ya.” Naimah hendak beranjak menuju arah pelaminan.
“Tunggu
aku, Nay.” Kutahan lengannya. Entah kenapa aku lebih memilih beranjak daripada
berlama-lama duduk dengan dua mantanku lainnya.
“Yuk,
buruan mumpung nggak ada antrian. Tapi.. lepasin tanganku donk.”
“Eh
iya, maaf.” Ujarku cengengesan.
“Selamat
ya, bro. Beruntung banget elo dapetin Raisa. Nggak bakal nyesel deh elo, man!”
Kataku sambil menyalami erat suami Raisa.
“Keluar
deh ‘buaya’ nya!” Kata Raisa terkekeh.
Kuakui
dibanding dengan mantan-mantanku, hanya dengan Raisa lah kami putus baik-baik.
Meskipun rasanya galau juga pas dia lebih memilih dijodohkan orangtuanya buat
nikah, aku gampang move on.
Prinsipku, cinta itu seperti taksi. Ditinggal satu taksi tak masalah, masih
bisa cari taksi lainnya.
“Hai,
sepupu, makasih ya udah datang. Nggak nyangka deh barengan Anang lagi.” Goda
Raisa sembari bercipika-cipiki dengan Naimah.
“Oh,
jadi kalian sepupuan.” Keduanya tersenyum penuh arti. Banyak hal-hal
mengejutkan hari ini.
Setelah
keluar dan menuju parkiran, “Nay, mau kuanter, nggak?” Ajakku. Masih modus yang
sama, siapa tahu Naimah masih menjomlo.
“Nggak
usah, Nang, terima kasih. Aku nunggu jemputan.” Tolaknya secara halus.
“Ehm,
nggak nyangka ya kamu ternyata sepupuan sama Raisa.” Kataku terus berbasa-basi.
Naimah yang masih se-cuek dulu. Jika tidak dimulai pembicaraan, kadang dia diam
saja. Memang agak membosankan, tapi aku banyak trik yang bisa membuat wanita
tertarik bicara denganku.
“Nggak
nyangka kan dunia ini terasa sempit.”
“Iya,
hehe..” Duh, bicara apa lagi ya.
“Ehm,
nggak nyangka juga kamu sekarang cantik.” Yes! Akhirnya kata-kata yang tadi
sempat tertahan kini terlontar dari sangkarnya.
“Nay,
aku..” Hampir saja kuraih lengannya. Berharap bisa mengajaknya kembali jadi
kekasihku. Kalau saja...
“Sayang!”
Dilambainya seorang pria gagah berkendara kuda besi merk Kawasaki Ninja
keluaran tahun 2004. Sang pria tepat berhenti di hadapannya.
“Maaf
ya isteriku sayang, jadi nunggu lama.” Ujarnya sambil memasangkan helm ke
kepala Naimah.
“Nang,
aku duluan ya.” Naimah pamit. Tak lama motor pun melaju kencang dan
meninggalkanku dengan sebulat huruf ‘O’ besar muncul dari mulutku.
Baru
kali ini patah hati secara instan. Raisa nikah, Naimah apa lagi. Soto Banjar
dan bistik sapiku ludes...
“Hoy,
Anang, melongo aja kamu!” Kurnia menepuk bahu kananku, membuatku kaget.
“Iya,
nih. Mending jalan sama kita-kita yuk!” Mega tidak kalah. Kali ini disenggolnya
bahu kiriku, hampir saja aku jatuh.
“Arrrggggh!
Apa-apaan sih kalian!” Kataku kesal.
“Uh,
playboy sensi.”
Daripada
jadi sasaran cewek-cewek gila lebih baik aku kabur.
“Anang,
tunggu kita-kita!!!” Mereka mengejarku.
Aaaaaarrrrrggggghh,
socking day jangan lagi-lagi deh!
***
NB: Haha, cerita ini sekedar seru-seruan aja. Kalau pun ada benang merah, ehm, cowok2 jangan pernah niat jadi playboy deh. Dah gitu aja! Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar